Koalisi Keadilan
dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) adalah sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil yang memiliki misi untuk
mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Pada saat ini KKPK terdiri
dari 31 organisasi dan individu dalam masyarakat sipil, termasuk kelompok
korban pelanggaran HAM, yang memperjuangkan penyelesaian secara tuntas dan
bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat HAM masa lalu.[1]
Tahun Kebenaran digagas oleh KKPK
untuk memunculkan momentum baru, sebelum pemilu 2014, bagi penataan ulang
kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan nilai-nilai keadilan, HAM dan
demokrasi substantif. Selama 12 bulan dari Desember 2012 – Desember 2013,
organisasi-organisasi masyarakat sipil, komunitas korban dan warga perorangan
yang peduli dapat membangun kekuatan bersama untuk mengungkap dan menegakkan
kebenaran sebagai nilai moral manusia yang bermartabat, sebagai hak individual
korban dan hak kolektif masyarakat, dan sebagai kepentingan bersama bangsa
Indonesia.
Gagasan Tahun Kebenaran itu sendiri perlu
ditegaskan sebagai sebuah konsensus yang dicapai dari dialog panjang di antara
masyarakat sipil dan komunitas korban. Konsensus dan konsolidasi ini perlu
terus dirawat secara aktif sepanjang berlangsungnya Tahun Kebenaran. Inisiatif ini digagas untuk kepentingan bangsa
secara luas dan sebagai landasan bagi kepemimpinan generasi masa depan.
Jaringan Perempuan Indonesia Timur, lembaga yang meneliti tentang perempuan
korban dan penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur turut mengambil bagian
dalam Tahun Kebenaran ini. Bagi konteks NTT tema Tragedi ’65 masih menjadi tema
yang enggan dibicarakan secara terbuka. Korban dan penyintas Tragedi ’65 masih
banyak yang memilih untuk menyimpan ceritanya sendiri.
Pelajaran yang dipetik JPIT dari penelitian Tragedi ’65 di NTT menyadarkan
bahwa bukan hanya Tragedi ’65 yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di
masyarakat. Pola kekerasan masih terus terjadi hingga saat ini. Keyakinan dan
kekuatan kebenaran yang dimiliki oleh para penyintas Tragedi ’65 untuk terus
membawa kebenaran mereka bagi generasi penerus bangsa mendorong kita untuk juga
belajar dari penyintas kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya di NTT.
Dalam momentum Tahun Kebenaran, cerita-cerita korban dan penyintas berbagai
tragedi kemanusiaan harus diperdengarkan kepada masyarakat kota Kupang dan juga
masyarakat Indonesia yang lebih luas. Dengan demikian bangsa ini, terutama kaum
muda di kota Kupang, dapat mengetahui dan dapat belajar dari para penyintas
pelanggaran HAM berat. Kasus kekerasan di Colol-Manggarai, kerusakan alam
akibat pertambangan di Mollo Utara, dan kekerasan di perbatasan pasca
kemerdekaan Timor Leste menjadi kasus-kasus yang memiliki benang merah dengan
pola kekerasan mulai Tragedi ’65 sampai tahun 2005.[2]
Melalui dengar kesaksian, masyarakat Kupang dan Indonesia diajak untuk
mengingat kembali kasus-kasus kekerasan tersebut sebagai pelajaran agar
kekerasan masal masa lalau itu jangan terulang lagi. Dengan demikian pengalaman
penyintas dan korban kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi guru-guru
terbaik bagi bangsa Indonesia.
Tujuan :
- Mendialogkan tatanan kebangsaan yang baru berlandaskan pengetahuan atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dan dampak impunitas pada segala aspek kehidupan berbangsa saat ini
- Memperkuat komitmen bangsa untuk menemukan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM masa lalu sesuai standar hak asasi manusia dan untuk memenuhi hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan reparasi
- Membangun landasan bagi perubahan sosial-politik berdasarkan pembelajaran tentang pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu menuju masyarakat yang adil, bermartabat dan demokratis, guna memastikan agar pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak akan terulang lagi
[1] Lembaga-lembaga
yang anggota KKPK termasuk: AJAR, AJI Indonesia, AJI Jakarta, Demos, ELSAM, Elsham
Papua, Foker LSM Papua, HRWG, IKOHI, Imparsial, JPIT, Koalisi NGO HAM Aceh,
KontraS, Kontras Aceh, LAPPAN, LBH Banda Aceh, LBH Apik Aceh, LBH Jakarta, LBH
Masyarakat, LKK, LPH-Yaphi, LP HAM, LSPP, PEC, PPRP, Komunitas Tikar Pandan,
SKP-HAM Palu, Sekber 65, dan Syarikat Indonesia.
[2] Periode 1965-2005 dipilih dengan alasan Tragedi 1965
merupakan titik tolak jatuhnya rejim Orde Lama dan mulai terbangunnya rejim
Orde Baru yang ditandai dengan kekerasan masal di Indonesia. Pada tahun 2005
tercapai penandatanganan MoU Helsinki di antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan
emerintah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan masa lalu dapat
diselesaikan melalui perundingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar