Translate

Minggu, 14 April 2013

JPIT dan Kegiatan Tahun Kebenaran NTT


Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) adalah sebuah aliansi organisasi masyarakat sipil yang memiliki misi untuk mengadvokasi kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Pada saat ini KKPK terdiri dari 31 organisasi dan individu dalam masyarakat sipil, termasuk kelompok korban pelanggaran HAM, yang memperjuangkan penyelesaian secara tuntas dan bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat HAM masa lalu.[1]



Tahun Kebenaran digagas oleh KKPK untuk memunculkan momentum baru, sebelum pemilu 2014, bagi penataan ulang kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan nilai-nilai keadilan, HAM dan demokrasi substantif. Selama 12 bulan dari Desember 2012 – Desember 2013, organisasi-organisasi masyarakat sipil, komunitas korban dan warga perorangan yang peduli dapat membangun kekuatan bersama untuk mengungkap dan menegakkan kebenaran sebagai nilai moral manusia yang bermartabat, sebagai hak individual korban dan hak kolektif masyarakat, dan sebagai kepentingan bersama bangsa Indonesia.
 
Gagasan Tahun Kebenaran itu sendiri perlu ditegaskan sebagai sebuah konsensus yang dicapai dari dialog panjang di antara masyarakat sipil dan komunitas korban. Konsensus dan konsolidasi ini perlu terus dirawat secara aktif sepanjang berlangsungnya Tahun Kebenaran. Inisiatif ini digagas untuk kepentingan bangsa secara luas dan sebagai landasan bagi kepemimpinan generasi masa depan.

Jaringan Perempuan Indonesia Timur, lembaga yang meneliti tentang perempuan korban dan penyintas Tragedi ’65 di Nusa Tenggara Timur turut mengambil bagian dalam Tahun Kebenaran ini. Bagi konteks NTT tema Tragedi ’65 masih menjadi tema yang enggan dibicarakan secara terbuka. Korban dan penyintas Tragedi ’65 masih banyak yang memilih untuk menyimpan ceritanya sendiri.

Pelajaran yang dipetik JPIT dari penelitian Tragedi ’65 di NTT menyadarkan bahwa bukan hanya Tragedi ’65 yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM di masyarakat. Pola kekerasan masih terus terjadi hingga saat ini. Keyakinan dan kekuatan kebenaran yang dimiliki oleh para penyintas Tragedi ’65 untuk terus membawa kebenaran mereka bagi generasi penerus bangsa mendorong kita untuk juga belajar dari penyintas kasus pelanggaran HAM masa lalu lainnya di NTT.

Dalam momentum Tahun Kebenaran, cerita-cerita korban dan penyintas berbagai tragedi kemanusiaan harus diperdengarkan kepada masyarakat kota Kupang dan juga masyarakat Indonesia yang lebih luas. Dengan demikian bangsa ini, terutama kaum muda di kota Kupang, dapat mengetahui dan dapat belajar dari para penyintas pelanggaran HAM berat. Kasus kekerasan di Colol-Manggarai, kerusakan alam akibat pertambangan di Mollo Utara, dan kekerasan di perbatasan pasca kemerdekaan Timor Leste menjadi kasus-kasus yang memiliki benang merah dengan pola kekerasan mulai Tragedi ’65 sampai tahun 2005.[2]

Melalui dengar kesaksian, masyarakat Kupang dan Indonesia diajak untuk mengingat kembali kasus-kasus kekerasan tersebut sebagai pelajaran agar kekerasan masal masa lalau itu jangan terulang lagi. Dengan demikian pengalaman penyintas dan korban kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menjadi guru-guru terbaik bagi bangsa Indonesia.
Tujuan :
  1. Mendialogkan tatanan kebangsaan yang baru berlandaskan pengetahuan atas peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM masa lalu dan dampak impunitas pada segala aspek kehidupan berbangsa saat ini  
  2. Memperkuat komitmen bangsa untuk menemukan penyelesaian terhadap pelanggaran HAM masa lalu sesuai standar hak asasi manusia dan untuk memenuhi hak-hak korban atas kebenaran, keadilan dan reparasi 
  3. Membangun landasan bagi perubahan sosial-politik berdasarkan pembelajaran tentang pelanggaran-pelanggaran HAM masa lalu menuju masyarakat yang adil, bermartabat dan demokratis, guna memastikan agar pelanggaran-pelanggaran tersebut tidak akan terulang lagi



[1] Lembaga-lembaga yang anggota KKPK termasuk: AJAR, AJI Indonesia, AJI Jakarta, Demos, ELSAM, Elsham Papua, Foker LSM Papua, HRWG, IKOHI, Imparsial, JPIT, Koalisi NGO HAM Aceh, KontraS, Kontras Aceh, LAPPAN, LBH Banda Aceh, LBH Apik Aceh, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LKK, LPH-Yaphi, LP HAM, LSPP, PEC, PPRP, Komunitas Tikar Pandan, SKP-HAM Palu, Sekber 65, dan Syarikat Indonesia.

[2]   Periode 1965-2005 dipilih dengan alasan Tragedi 1965 merupakan titik tolak jatuhnya rejim Orde Lama dan mulai terbangunnya rejim Orde Baru yang ditandai dengan kekerasan masal di Indonesia. Pada tahun 2005 tercapai penandatanganan MoU Helsinki di antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan emerintah Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan masa lalu dapat diselesaikan melalui perundingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar